Kajian tentang klasifikasi keilmuan dalam islam pada dasarnya sudah
banyak dilakukan oleh para ilmuan muslim, seperti al-Ghazali, dalam al risalah al
ladunniyyah-nya, al Khawarizmi dalam Mafatih al Ulum-nya, dan Ibn Nadim dalam
al-Fihrist-nya. Selain itu, pakar
pendidikan islam yang menyelenggarakan Konfrensi Internasional tentang
pendidikan Islam yang diadakan di Pakistan, Makkah dan Jakarta juga menyepakati
perlunya mengelompokan ilmu dalam Islam menjadi dua kategori besar, yaitu ilmu
yang diwahyukan (revealed knowledge) dan ilmu yang diperoleh atau dikembangkan
oleh nalar manusia (acquired knowledge).
Muhammad Abed al-Jabiri seorang pemikir muslim kontemporer asal
Maroko juga membuat klasifikasi ilmu dalam islam secara epistemologis.
Menurutnya, nalar pemikiran islam dapat dikategorikan ke dalam tiga
epistemologis yaitu epistemologis bayani ‘irfani dan burhani. Pemikiran
al-Janibi tersebut dituangkan dalam karyanya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi.
1.
Rumpun Bayani
Bayani
(explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan,
penetapan. Sedangkan secara terminologis, Bayani berarti pola pikir yang
bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad.
‘Abid al-Jabiry sumber epistemologis bayani
adalah nash atau teks. Dengan kata lain, corak berfikir lebih mengandankan pada
ototitas teks tidak hanya teks wahyu namun juga hasil pemikiran keagamaan yang
ditulis oleh para ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan dalam nalar bayani
ini adalah lughawiyah. Pola berfikir bayani ini berlaku untuk disiplin ilmu seperti
fikih, studi gramatika, filologi, dan kalam.prinsip yang yang dipegangi
dalamcoral bayani adalah infisal (diskontinu)atau ataumistik, tajwiz (tidak ada
hukum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Dalam
model berfikir bayani, akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa
nafsu. Akal cenderung menjalankan fungsi justifikasi, repetitif, taqlidy.
Otoritas dalam teks, sehingga hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan
dengan teks. Yang dijadikan tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah
adanya keserupaan atau kedekatan antara
teks atau nas dengan realitas.
Dari
tiga rumpun keilmuan menurut al-Jabiri, yakni bayani, buryani, dan irfani,
agaknya yang pertama yang mendominasi dalam tradisikeilmuan di lingkungan lembaga
pendidikan islam. Sebab, ada
kecenderungan dijadikannya hasil pemikiran keagamaan yang ada diberbagai
karya para fuqaha dan mutakallim sebagai pijakan utama, bahkan ada keengganan
untuk tidak beranjak dari produk keilmuan tersebut sehingga cenderung kurang
mampu menjawab dan memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan
kontemporer.
2.
Rumpun Burhani
Jika sumber pengetahuan dalam nalar bayani
adalah teks, maka sumber pengetahuan dalam nalar burhani adalah realitas
(al-waqi’) baik dari alam, sosial, dan humanities. Karena itu, lebih sering
disebut sebagai al-‘ilm al-husuli. Yaitu, ilmu yang dikonsep, disusun dan
disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-matiq, bukannya lewat
otoritas teks atau intuisi. Premis ini disusun lewat kerjasama antara proses
abstraksi dan pengamatan inderawi yang telah atau dengan menggunakan alat-alat
yang dapat membantu atau menambah kekuatan indra seperti alat- alat
laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer mendalam. Peran
akal dan nalar epistimologi sangat besar sebab ia diarahkan untuk mencari sebab
akibat.
Jenis
argumen yang ada dalam nalar burhani adalah demonstratif, baik secara
eksploratif, verifikatif, dan eksplanatif. Dalam nalar ini lebih banyak
dituntut untuk menunjukan bukti dan penjelasan tentang sesuatu pemahaman atau
fenomena. Nalar ini dipenuhi dengan argumen yang bersifat pembuktian,
diskripsi, dan elaborasi tentang sesuatu.
Nalar
ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang digunakan, yaitu idrak al-sabab
(nizam al-sababiyah al-thabit), prinsip kausalitas, al-hatmiyah (kepastian,
certainly) al-mutabaqah bayn al-‘aql wa al-nizam al tabi’ah. Prinsip-prinsip
tersebut berpandangan bahwa apa yan terjadi dalam realitas empirik dan fenomena
alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Untuk itu, untuk memahaminya
diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan
akibat sekaligus, sebab akibat yang sama belum tentu penyebabnya sama.
Sebaliknya sebab yang sama belum tentu menyebabkan akibat yang sama.
Bertolak
dari uraian diatas, maka keilmuan yang termasuk dalam nalar burhani adalah
falsafah, ilmu-ilmu alam seperti fisika, matematika, biologi, dan kedokteran,
ilmu sosial seprti, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah.
3.
Rumpun Irfani
Dalam
nalar Irfani dan bayani sama-sama ada analogi, namun keduanya berbeda. Analogi
dalam nalar irfani didasarkan atas penyerupaan, ia tidak terkait oleh aturan
serta dapat menghasilkan jumlah bentuk
yang tidak terbatas, sementara dalam nalar bayani didasarkan pada penyerupaan
langsung.
Analogi
dalam nalar irfani dapat mengambil bentuk kiasan (tamsil) atau metafor. Al
Jabiri menyatakan tiga tipe analogi dalam epistemologi irfani. Pertama,
penyerupaan yang didasarkan pada korespodensi numeris. Kedua, penyerupaan
didasarkan pada suatu representasi. Ketiga, penyerupaan retoris dan puitis. Ia
memandang bahwa sistem epistemologis ini
telah menjadi sistem prodiktif dalam bidan keilmuan sastra dan seni.
Kalu
yang menjadi tolak ukur nalar bayani adalah kessuaian dengan teks, maka dalam
nalar irfani yang menjadi tolak ukur adalah memahami perasaan orang lain,
simpati, empati. Keputusan didasarkan pada yang tersurat atau formalitas, namun
lebih pada yang tersirat dan apa yang dirasakan pihak lain. Karenanya, dalam
nalar ini tidak muncul judgment secara satu arah. Kesimpulan hanya muncul
setelah mendengar pemahaman dan perasaan
pihak lain.
Dalam
pandangan Amin Abdullah ketiga nalar keilmuan diatas tidak dapat berdiri
sediri, namun harus saling berhubungan antara satu nalar dengan yang lain.
Dalam di seseorang harus ada ketiga nalar tersebut sehingga ketika mencermati
dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak dan satu alur,
namun dapat dilihat secara komprehensif,
baik dari aspek formal, makna, dan penyebab terjadinya hal tersebut.
Sebaliknya, pemahaman secara adhoc dan fagmental dihindari sebab akan berakibat
pada solusi yang dimunculkan juga akan cenderung kurang lengkap dan parsial.