Jumat, 21 Oktober 2011

PENGELOMPOKAN KEILMUAN DALAM ISLAM


Kajian tentang klasifikasi keilmuan dalam islam pada dasarnya sudah banyak dilakukan oleh para ilmuan muslim, seperti  al-Ghazali, dalam al risalah al ladunniyyah-nya, al Khawarizmi dalam Mafatih al Ulum-nya, dan Ibn Nadim dalam al-Fihrist-nya.   Selain itu, pakar pendidikan islam yang menyelenggarakan Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam yang diadakan di Pakistan, Makkah dan Jakarta juga menyepakati perlunya mengelompokan ilmu dalam Islam menjadi dua kategori besar, yaitu ilmu yang diwahyukan (revealed knowledge) dan ilmu yang diperoleh atau dikembangkan oleh nalar manusia (acquired knowledge).
Muhammad Abed al-Jabiri seorang pemikir muslim kontemporer asal Maroko juga membuat klasifikasi ilmu dalam islam secara epistemologis. Menurutnya, nalar pemikiran islam dapat dikategorikan ke dalam tiga epistemologis yaitu epistemologis bayani ‘irfani dan burhani. Pemikiran al-Janibi tersebut dituangkan dalam karyanya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi.
1.                  Rumpun Bayani
Bayani (explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan, penetapan. Sedangkan secara terminologis, Bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad.
 ‘Abid al-Jabiry sumber epistemologis bayani adalah nash atau teks. Dengan kata lain, corak berfikir lebih mengandankan pada ototitas teks tidak hanya teks wahyu namun juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan dalam nalar bayani ini adalah lughawiyah. Pola berfikir bayani ini berlaku untuk disiplin ilmu seperti fikih, studi gramatika, filologi, dan kalam.prinsip yang yang dipegangi dalamcoral bayani adalah infisal (diskontinu)atau ataumistik, tajwiz (tidak ada hukum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Dalam model berfikir bayani, akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankan fungsi justifikasi, repetitif, taqlidy. Otoritas dalam teks, sehingga hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan dengan teks. Yang dijadikan tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan  antara teks atau nas dengan realitas.
Dari tiga rumpun keilmuan menurut al-Jabiri, yakni bayani, buryani, dan irfani, agaknya yang pertama yang mendominasi dalam tradisikeilmuan di lingkungan lembaga pendidikan islam. Sebab, ada   kecenderungan dijadikannya hasil pemikiran keagamaan yang ada diberbagai karya para fuqaha dan mutakallim sebagai pijakan utama, bahkan ada keengganan untuk tidak beranjak dari produk keilmuan tersebut sehingga cenderung kurang mampu menjawab dan memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan kontemporer.
2.                  Rumpun Burhani
 Jika sumber pengetahuan dalam nalar bayani adalah teks, maka sumber pengetahuan dalam nalar burhani adalah realitas (al-waqi’) baik dari alam, sosial, dan humanities. Karena itu, lebih sering disebut sebagai al-‘ilm al-husuli. Yaitu, ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-matiq, bukannya lewat otoritas teks atau intuisi. Premis ini disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang telah atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu atau menambah kekuatan indra seperti alat- alat laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer mendalam. Peran akal dan nalar epistimologi sangat besar sebab ia diarahkan untuk mencari sebab akibat.
Jenis argumen yang ada dalam nalar burhani adalah demonstratif, baik secara eksploratif, verifikatif, dan eksplanatif. Dalam nalar ini lebih banyak dituntut untuk menunjukan bukti dan penjelasan tentang sesuatu pemahaman atau fenomena. Nalar ini dipenuhi dengan argumen yang bersifat pembuktian, diskripsi, dan elaborasi tentang sesuatu.
Nalar ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang digunakan, yaitu idrak al-sabab (nizam al-sababiyah al-thabit), prinsip kausalitas, al-hatmiyah (kepastian, certainly) al-mutabaqah bayn al-‘aql wa al-nizam al tabi’ah. Prinsip-prinsip tersebut berpandangan bahwa apa yan terjadi dalam realitas empirik dan fenomena alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Untuk itu, untuk memahaminya diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan akibat sekaligus, sebab akibat yang sama belum tentu penyebabnya sama. Sebaliknya sebab yang sama belum tentu menyebabkan akibat yang sama.
Bertolak dari uraian diatas, maka keilmuan yang termasuk dalam nalar burhani adalah falsafah, ilmu-ilmu alam seperti fisika, matematika, biologi, dan kedokteran, ilmu sosial seprti, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah.
3.                   Rumpun Irfani
Dalam nalar Irfani dan bayani sama-sama ada analogi, namun keduanya berbeda. Analogi dalam nalar irfani didasarkan atas penyerupaan, ia tidak terkait oleh aturan serta  dapat menghasilkan jumlah bentuk yang tidak terbatas, sementara dalam nalar bayani didasarkan pada penyerupaan langsung.
Analogi dalam nalar irfani dapat mengambil bentuk kiasan (tamsil) atau metafor. Al Jabiri menyatakan tiga tipe analogi dalam epistemologi irfani. Pertama, penyerupaan yang didasarkan pada korespodensi numeris. Kedua, penyerupaan didasarkan pada suatu representasi. Ketiga, penyerupaan retoris dan puitis. Ia memandang bahwa sistem epistemologis ini telah menjadi sistem prodiktif dalam bidan keilmuan sastra dan seni.
Kalu yang menjadi tolak ukur nalar bayani adalah kessuaian dengan teks, maka dalam nalar irfani yang menjadi tolak ukur adalah memahami perasaan orang lain, simpati, empati. Keputusan didasarkan pada yang tersurat atau formalitas, namun lebih pada yang tersirat dan apa yang dirasakan pihak lain. Karenanya, dalam nalar ini tidak muncul judgment secara satu arah. Kesimpulan hanya muncul setelah  mendengar pemahaman dan perasaan pihak lain.
Dalam pandangan Amin Abdullah ketiga nalar keilmuan diatas tidak dapat berdiri sediri, namun harus saling berhubungan antara satu nalar dengan yang lain. Dalam di seseorang harus ada ketiga nalar tersebut sehingga ketika mencermati dan menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami secara sepihak dan satu alur, namun dapat dilihat secara  komprehensif, baik dari aspek formal, makna, dan penyebab terjadinya hal tersebut. Sebaliknya, pemahaman secara adhoc dan fagmental dihindari sebab akan berakibat pada solusi yang dimunculkan juga akan cenderung kurang lengkap dan parsial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar